sumber : http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi
adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah
ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan
yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari
itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima,
menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan
teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan
inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan
berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas
reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan,
apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu,
Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak
berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya
perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan
kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai
dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang
tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama
anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya
(Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara
barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori
oleh the National Academy of Sciences di Amerika Serikat. Hasilnya
menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di
sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil
analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50
buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif,
baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan
teman sebayanya.
Penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini
memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek
sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap
positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan
interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk
sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan
perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan
sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka
dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak
terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain
kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata,
label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi
membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling
bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun
berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah
sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan
pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai
ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol
oleh sekolah, bukan dibantu.
Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan
pendidikan khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil
yang lebih positif, biaya penyelenggaraan sekolah segregasi relatif
lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula, banyak anak berkelainan
yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah
khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai
jawaban kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum
sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun
demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak
normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami
kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional,
dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam
kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di
samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan
prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak
luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model
sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
2. Kelas reguler dengan cluster
3. Kelas reguler dengan pull out
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
5. Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
6. Kelas khusus penuh.
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam
strategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin
dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang
lainnya belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi
dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk
mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan.
Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat
suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat
dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar
secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara
berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan
individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan
dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di
dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhubungan dengan strategi
individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan masalah, mengingat
dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi
belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor
biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor
tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan
atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi
dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup
serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin
berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas
yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar
antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara
signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar
antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan
antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu,
setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu
dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada
kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1. Penempatan Anak Tunalaras di Kelas Inklusi
Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai
kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali anak-anak yang kurang beruntung
baik dalam segi emosi dan soaial (tunalaras). Namun kenyataan di
lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus
menjadi anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian.
Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua
terpenuhi. Sebanyak 49.647 anak berkebutuhan khusus dari total sekitar
satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat mengenyam pendidikan.
Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak
berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas
semakin membuat anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus
semakin terpinggirkan. Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah
untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif. Sekolah
inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dan
kurang berutung dapat mengenyam pendidikan.
Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan
berjalannya kebijakan sekolah inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi
ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan pengajar di kelas
untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Selain itu dalam sekolah
inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal ini
nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga
dapat timbul kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan
menghilangkan adanya isolasi profesi. Dalam sekolah inklusi, makna orang
tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik dari segi
perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah.
Dalam sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan
khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang
kelainan fisik dan atau mental. Peserta didik yang menyandang kelainan
demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan
singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan
pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau
sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Hak masing-masing warga negara untuk memperoleh pendidikan
dapat diartikan sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Tentu saja
kelainan yang disandang oleh peserta didik yang bersangkutan menuntut
penyelenggaraan pendidikan sekolah yang lain dari pada penyelenggaraan
pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan yang diadakan
bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa. Saat
ini satu unit di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah, yaitu Direktorat Pendidikan Luar Biasa memikul tanggung jawab
atas pelayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang kelainan untuk
tingkat nasional.
Untuk tingkat daerah, unit yang bertanggung jawab atas
Pendidikan Luar Biasa adalah Subdin PLB/Subdin yang menangani PLB pada
Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga Pendidikan Luar Biasa yang ada
sekarang ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB), dan Pendidikan Terpadu. .
Ada Departemen terkait yang memberikan pelayanan pendidikan
bagian anak nakal yaitu Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial. Pada
umumnya Departemen Kehakiman menampung “anak negara” yaitu anak
delinkwensi atas putusan pengadilan dicabut hak mendidik dari orang
tuanya kemudian diambil oleh pemerintah. Mereka dipelihara sampai
berumur 18 tahun sebagai batas ukuran dewasa. Sedangkan Departemen
Sosial memelihara mereka berdasar titipan dari orangtua, karena orangtua
sudah merasa kewalahan. Atau hasil razia anak gelandangan atau
terlantar yang sulit bila dikembalikan kepada orangtuanya karena keadaan
tidak mampu atau sangat miskin.
Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal
macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial
sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala
kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka
masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat
perhatian dan layanan khusus.
2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah
dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik
emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu
diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap
sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas
khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB
dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap
membimbing anak.
3. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak
Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain
karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
4. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat,
sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka
mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara
kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk
keperluan penyuluhan.
Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha
pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan
wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tunalaras itu segera saja
dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha
pengembangan sekolah bagi anak tunalaras ini berarti kita memberi wadah
seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh berbaikan kepribadiannya.
2. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunalaras di Kelas Inklusi
Dalam mengembangkan model pembelajaran untuk anak tunalaras di
kelas inklusi selain rencana pembelajaran dan penyusunan PPI perlu
dipertimbangkan bahwa anak tunalaras mengalami Disfungsi perkembangan
anak, meliputi aspek sensorimotor, kreativitas, interaksi sosial, dan
berbahasa. Hal ini dapat mengakibatkan peserta didik mendapatkan
kesulitan belajar di sekolah.
Sementara itu istilah populer dari ketidak matangan
(inadequary) atau kekurangdewasaan (immaturitty) adalah kekanak-kanakan.
Jenis perilaku ini sangat beragam, dari perbedaan kecil dengan
perkembangan anak seusianya sampai keterlambatan perkembangan yang
bersifat kronis danberat. Ada lagi kelainan berupa perkembangan yang
tidak merata, berkembang lebih cepat dari anak normal dalam beberapa
aspek tetapi menunjukan keterlambatan dalam aspek lain. Ketidakmatangan
tersebut dapat merujuk pada masalah yang sama, yaitu perilaku tidak
sesuai dengan perilaku anak seusianya.
Tetapi dalam hal tertentu, ada perbedaan antara keduanya. Kekurang
dewasaan adalah perilaku di bawah norma satu populasi atau masyarakat
luas; sedangkan ketidak matangan merujuk pada perilaku dibandingkan
dengan norma yang lebih sempit atau kelompok sosial tertentu. Dengan
demikian, seorang anak mungkin kurang dewasa menurut ukuran anak
seusianya, tetapi bagi masyarakat tertentu hal ini dianggap biasa.
Ketidakmatangan/kekurangdewasaan bukan jenis perilaku yang berdiri
sendiri, tetapi konsep ini mempunyai arti yang luas sehingga dapat
diterapkan pada hampir semua jenis penyimpangan perilaku. Karakteristik
distraktibilitas, agresivitas, atau pendiam, misalnya sering menyertai
munculnya perilaku ketidakdewasaan.
Dalam bagian ini akan dibahas Kebutuhan intervensi pembelajaran
khusus dan Pendekatan teoritis yang diambil dalam usaha memenuhi
kebutuhan siswa-siswa yang mengalami gangguan emosi dan tingkah laku
sangat berarti dalam menentukan apakah seseorang siswa dipandang sebagai
bagian kehidupan kelas reguler.
Kebutuhan Intervensi Pembelajaran Khusus
Disebabkan anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai mengacu kepada adanya:
1. perilaku yang sangat ekstrim,
2. masalahnya sangat kronis (salah satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya),
3. perilaku yang tidak diterima oleh adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu
Dengan demikian disadari proses perkembangan anak untuk mengubah
dirinya memerlukan bentuk kegiatan tertentu serta latihan yang diarahkan
sesuai dengan keberadaan dirinya, sehingga terpenuhi kebutuhan
psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima oleh
orang-orang di sekitarnya (Maslow,1984 dalam Patton,l986:4).
Dalam perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap
lingkungan dihadapkannya diadapan pada tiga dimensi utama, yaitu:
kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak melakukan fungsi
kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat
keperluan (functioning & Support). Mempelajari perilaku peserta
didik dengan gngguan emosi dan tingkah laku akan berkaitan dengan cara
mereka berorientasi dengan lingkungan.
Prinsip-prinsip belajar yang terlibat antara lain teori belajar
sosial dan teori perkembangan kognitif. Teori belajar sosial memandang
konteks sosial peserta didik meliputi interaksi pribadinya dengan
lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah objek
atau menjauhi objek. Keduanya berpengaruh terhadap perilaku perorangan
yang menunjukkan adanya penguatan yang dapat dipergunakan sebagai
intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari kedua
variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta
didik yang mengalami hambatan perkembangan, yaitu Locus of control,
expectancy for failure, dan outer directedness.
Locus of control mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan akibat
dari perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian,
baik yang positif maupun negatif, sebagai akibat dari tindakannya
sendiri disebut dengan internal locus of control. Sebaliknya apabila
dilakukan akibat tekanan dariluar dirinya seperti nasib,kesempatan, atau
akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of
control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan
lebih berorientasi ke arah external locus of control daripada mereka
yang tidak mempunyai hambatan perkembangan (Patton,et,al,l986: 85)
Expectancy for failure mengacu pada penguatan yang merupakan
antisipasi sebagai akibat dari perilaku yang diajarkan.Misalnya
pemberian hadiah danpemberian harapan-harapan sebagai bentuk umum akibat
dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe khusus dari suatu
kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu
outerdirectedness dalam upaya untuk tidak melakukan
kesalahan-kesalahan,pada umumnya meniru perilaku orang lain yang benar
atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau
petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya.
Masalah yang dihadapi oleh anak dengan gangguan emosi dan tingkah
laku dipandang sebagai ketidakseimbangan secara patologis antara
bagian-bagian dinamis dari pikiran: id, ego dan super-ego. Para praktisi
pendidikan mengupayakan untuk membantu dalam meningkatkan
keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan prestasi ke arah yang
sebaik mungkin. Penekanannya terletak pada pembentukan hubungan yang
baik antara guru dan siswa, agar diri siswa mempunyai perasaan diterima
dan bebas untuk mengemukakan keadaan dirinya. Dengan demikian maka
perhatian guru lebih tertuju ke pada upaya-upaya untuk membantu anak
dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan merubah perilaku
kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik (Berkowitz
& Rothman dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173).
Sementara itu anak dengan dengan gangguan emosi dan tingkah laku ini
diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan psikiatrik dan adanya
kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya dilakukan oleh
seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang antara sasaran
yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk pencapaian
prestasinya. Motivasi terhadap ketidaksadaran diri dan faktor-faktor
yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam
pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap
individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang
memanfaatkan kegiatan kreatif-seni, seperti: musik, tari, dan kegiatan
yang bersifat seni.
Perspektif lain mengemukakan anak-anak dengan gangguan emosi dan
tingkah laku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang mempunyai
perhatian dan masih belum dianggap penting dalam lingkungan pendidikan
tradisional. Hal yang perlu disarankan ke pada para praktisi
kependidikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna
mempertinggi kemampuan siswa untuk mengatur diri sendiri, mampu
mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang
diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang non-tradisional. Fungsi guru
dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam
pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru
bersama-sama siswa bekerja bersama saling memberikan informasi dalam
keadaan yang saling menguntungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang
dipergunakan adalah tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan,
bersifat ke arah evaluasi- diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi
(Hallahan & Kauffman, 1986:175).
Sementara itu elemen-elemen lingkungan seperti sekolah, lingkungan
keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang interaksi bagi
anak. Oleh karenanya paraktisi pendidikan sebaiknya menjadi bagian dari
strategi keseluruhan suatu sistem dimana anak merupakan bagian yang
terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah merubah
lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap
perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlakukan dalam
ruangan kelas saja, tetapi meliputi juga kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan
orang-orang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis
membutuhkan seorang guru yang cakap dalam memberikan keterampilan
spesifik yang berguna, termasuk di dalamnya keterampilan akademik,
rekreasi, dan keterampilan untuk hidup sehari-hari.
Asumsi lainnya adalah bahwa permasalahan yang bersifat perilaku yang
menjadi penyebab tidak tepatnya pembelajaran pada anak dengan gangguan
emosi dan tingkah laku dapat dibantu dengan cara memodifikasi perilaku.
Modifikasi perilaku dapat dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi
lingkungan anak secara segera, tergantung pada penempatan ruangan kelas
dan konsekuensi dari perilaku anak yang bersangkutan. Dengan kata lain
bahwa tanggapan-tanggapan anak hendaknya dapat segera disadari oleh guru
atau praktisi serta dapat diukur secara cermat, sehingga fokus dalam
pendekatan perilaku adalah memberikan batasan secara tepat dan mengukur
perilaku yang dapat diamati yang menjadi masalah, dan memanipulasi
konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang bersangkutan dalam upaya
melakukan perubahan.
Dengan demikian program pembelajaran bagi anak dengan gangguan emosi
dan tingkah laku sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan
sosial-emosionalnya. Untuk itu maka diperlukan perhatian khusus terhadap
perkembangan sosial-emosional dan psikomotornya. Yang dimaksud dengan
perkembangan sosial emosional, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Kepuasan diri: merasa sehat, meningkatkan konsep-diri,
meningkatkan kepercayaan diri, aktualisasi-diri dan peningkatan
kesadaran terhadap tubuh.
2. Perkembangan fungsional: sikap bermasyarakat, pandangan terhadap
nilai-nilai, kepribadian, menyenangi hubungan antar-pribadi dalam suatu
lingkungan kehidupan.
3. Perkembangan emosional: kestabilan emosi, merasa senang, suka
menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, bergaul erat sesama teman.
Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat
meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu program
pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan
adanya hal-hal berikut:
1. Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan
kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang
bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
2. Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh
pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan
dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
3. Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan,
seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kegiatan-kegiatan layanan
pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan
memperhatikan: adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan
dirinya sendiri, dapat meningkatkan persahabatan, adanya kesempatan pada
anak untuk dapat memecahkan masalah-masalahnya secara sendiri,
menggunakan gerakan-gerakan ritmis, dan dilakukan dengan memodifikasi
perilaku yang bersifat operant condition, dengan penguatan yang positif
(positive reinforcement), hukuman (punishment), dan penarikan/
penghentian kegiatan (time-out).
Langkah-langkah kegiatan pembuatan rancangan pembelajaran, adalah sebagai berikut :
1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat
perkembangan fungsional psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes
Psychomotor Inventory (GPI) Profile I dan II (sebagai pre test)
2. Menganalisis seluruh hasil skrining atau pre test dengan instrumen
GPI Profile I dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat
keberfungsian psikomotor anak yang bersangkutan disesuaikan dengan
perkembangan sosial-emosionalnya.
3. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak,
berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan
kurikulum yang berlaku.
4. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui:
1. Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor,
sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya
atau tidak. Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai
post test)
2. Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran
(dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai
target yang akan dicapai dalam pembelajaran. Dalam hal ini dipergunakan
analisis terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek-tunggal.